Sangeang merupakan gunung berapi aktif di kompleks pulau Sangeang di
Indonesia. Ini terdiri dari dua kerucut vulkanik, Doro Api 1.949 meter (6.394
kaki) dan Doro Mantoi 1.795 m (5.889 ft).
Sangeang Api merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di Kepulauan Sunda Kecil. Meletus pada tahun 1988
dan penduduk pulau dievakuasi. Tercatat letusan pertama pada tahun 1512 dan
1989 itu meletus 17 kali. Meletus lagi selama bulan Desember 2012 dan Mei 2014.
Pulau Sangeang merupakan bagian dari Kepulauan Sunda Kecil. Kota ini terletak
sebelah timur laut dari Sumbawa di Laut Flores, dengan lebar 13 kilometer dan luas 153 km2.Secara
administratif, pulau ini termasuk wilayah Kabupaten
Bima, Nusa Tenggara Barat, Indonesia.
Untuk nama resmi di pemerintahan Kabupaten
Bima yaitu Pulau Sangiang.
Dokumen paling awal menyebutkan tentang Sang Hyang gunung Api ditemukan pada
abad ke-14 naskah Majapahit Nagarakretagama.
"Gunung Api" juga muncul sebagai nama gunung di bab pertama dari
novel "The Long Journey" oleh Johannes V. Jensen.
Gunung Sangiang adalah Gunung yang memiliki
banyak Versi dan Mitos, baik tentang asal muasal, catatan sejarah hingga culture
asal warga disana. Sebab hingga saat ini Warga gunung Sangiang tidak pernah
mengakui dirinya sebagai Orang Wera yang berada diseberang pulau itu, demikian
juga dengan warga Sangiang Darat yang ditinggal didaratan Wera juga sepenuhnya
cenderung menganggap diri bukan sebagai orang Wera. Mereka lebih memilih diri
mereka sendiri sebagai Warga Sangiang Pulau seperti keberadaan Suku Bajo
disaentero nusantara.
Gunung Sangiang terletak disebelah Utara
Kabupaten Bima, ujung timur Pulau Sumbawa Propinsi NTB. Tidak banyak orang yang
ke Gunung Sangiang selain warga Sangiang sendiri dan beberapa kelompok
masyarakat pemancing ikan dan pemburu rusa atau menjangan. Gunung Sangiang
secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Wera Kabupaten Bima. Gunung
ini berjarak sekitar 10 mil atau 25 km dari Wera sebagai daratan pulau Sumbawa.
Gunung Sangiang adalah salah satu gunung Api
aktif di Indonesia, dalam catatan PVMBG (Badan Vulaknologi dan Mitigasi Bencana
Geologi), Gunung Sangiang berstatus waspada. Status tersebut dikeluarkan sejak
Oktober 2009 hingga saat ini dan belum berubah menjadi Normal. Namun masyarakat
lereng Sangiang mengaggap hal itu biasa dan tak dikhawatirkan sebab mereka
(Warga gunung Sangiang) punya cara tersendiri secara turun temurun dalam
memastikan apakah gunung tersebut akan menyemburkan magma (meletus) atau tidak.
SEJARAH
Tidak ada yang tahu, sejak kapan warga mendiami
Gunung Sangiang, tetapi berdasarkan cerita dari para orang tua, bahwa
masyarakat tinggal di Sangiang sudah sejak jaman Ncuhi (jaman sebelum
Kerajaan dikenal di Bima). Konon, warga Sangiang memiliki keterkaitan darah
antara Warga Palue dilereng Gunung Rokatenda – Flores NTT. Warga Palue
menyebut dirinya sebagai Attapalue sedangkan orang Sangiang
menyebut diri mereka sebagai Attasangia. Diakui pula hingga
hari ini, bahwa warga Palue yang hidup dilereng dan punggung gunung
Rokatenda adalah asli Attasangia (Baca: orang Sangiang). Mereka ke Palue
karena menolak memeluk ajaran Agama Islam, akibat syarat untuk masuk Islam
adalah harus disunat (memotong kulit depan kelamin lelaki).
Kepala Suku di Sangiang tidak menyebut diri
mereka sebagai Ncuhi, Galarang atau Punggawa, namun
gelaran Dallu. Di Manggarai, Dallu adalah Kepala suku
seperti halnya di Bima disebut Ncuhi. Ketika masa Kerajaan maupun
Kesultanan, Ncuhi berubah menjadi Jeneli atau Punggawa
dan pada masa Swatrantra maupun Swapraja (setelah Kemerdekaan NKRI) mulailah
disebut sebagai Gelarang dan kini Kades atau Lurah. Tetapi di Pulau
Sangiang, kepala Suku sejak warga Attasangia menempati Pulau Sangiang
hingga saat ini tetap menyebut Dallu sebagai Pemimpin Kelompok
masyarakat.
Dallu terakhir adalah Dallu H.
Jamaluddin atau dikenal dengan ‘Abu Wadi’, yang memimpin warga Sangiang sejak
tahun 50an, sebelum itu dipimpin oleh ‘Dallu Abu Jao’, dengan
perkiraan menjadi Dallu Sangiang sejak awal abad ke 19 atau tahun
1900an awal. Nisan kuburan ‘Dallu Abu Jao’ masih ada hingga saat ini,
meski sudah dikelilingi oleh semak belukar. Dan Uma Dallu (Rumah Tua)
juga masih berdiri kokoh. Uma Dallu diperkirakan berumur 500an tahun,
sebab, konon, ‘Dallu Abu Wadi’ maupun ‘Dallu Abu Jao’ (Bapak
dari Abu Wadi) tinggal disitu secara turun temurun siapapun yang menjadi Dallu.
Uma Dallu secara turun temurun menjadi rumah kepala Suku, istilah
sekarang adalah rumah dinas. Konon, di Uma Dallu yang masih berdiri
kokoh ini, La Kai (Sultan Abdul Kahir), Sultan Pertama Bima,
pernah tinggal beberapa tahun saat dikejar oleh Salisi (pamannya sendiri) saat
akan menuju Kesultanan Gowa sekitar tahun 1610. Prasasti yang membuktikan bahwa
La Kai pernah tinggal di Uma Dallu itu adalah Wadu Kahampa
(Batu Kesepakatan), yang beberapa tahun lalu sempat bersengkata dan dibuang ke
laut oleh seorang Ustadz yang menganggap itu sirik dan Bupati Bima (alm) ferry
Zulkarnaen, harus turun tangan menangani sengketa tersebut.
Warga Pulau Sangiang juga yakin bahwa sebelum Datuk Dibanta maupun Datuk Ditiro (Syekh Pembawa Islam di Bima) menginjakkan kakinya di Bima, terlebih dahulu datang “Tujuh Wali” atau dikenal dengan “Wali Pidu” di Sulawesi juga sempat ada cerita tentang “Wali Pitu” demikian juga di Manggarai. Dua diantaranya meningga di Pulau Sangiang. Salah satu dari dua Wali yang dikubur di Pulau Sangiang bernama Syiekh Syamsuri. Kuburannya ada di punggung Gunung Sangiang dan masih bisa dijumpai. Diakui pula oleh 2 orang Juru Kunci Sangiang, Abu La Ebe (65thn) dan Pua Juwaidin (40thn). Kuburan kedua Syiekh tersebut menjadi legenda bagi banyak orang, tetapi bagi banyak warga Pulau Sangiang itu ada dan nyata. Kuburan itu terletak dipunggung gunung, dapat ditempuh dengan mendaki sekitar 5 jam perjalanan. Berada dibawah rimbunan 2 pohon besar dan rindang. Anehnya, kuburan tersebut selalu bersih dan tidak pernah dijatuhi oleh dedaunan apapun termasuk ditumbuhi oleh semak-semak. Warga pulau sangiang sering berziarah di 2 kuburan tersebut.
Erupsi 2014
Sejak pertengahan Juni 2013, pihak
berwenang telah menempatkan gunung berapi pada status 'siaga tinggi' untuk
kemungkinan letusan. Pada tanggal 30 Mei, letusan besar terjadi sekitar 03:55
sore waktu setempat. Petani yang bekerja di pulau itu dievakuasi. Abu dan asap
cepat naik ke ketinggian 15-20 kilometer (≈ 10-16 mil) ke langit.[3]
Pada keesokan harinya, awan abu telah menyeberangi pantai utara-barat dari Australia di
wilayah Kimberley, dan maskapai
penerbangan membatalkan penerbangan ke dan dari Darwin, Wilayah
Utara.[5]
Abu kemudian pergi sejauh Alice Springs di Wilayah
Utara. Pada 31 Mei beberapa penerbangan dari Melbourne
dan Adelaide
menuju Bali juga
dibatalkan.[5]
POTENSI
Dibalik kisah Mitologi maupun Mistiknya serta kebencanaannya, Gunung Sangiang ternyata memiliki banyak tempat yang eksotik. Tidak sedikit wisatawan yang melabuhkan jangkarnya di gunung Sangiang hanya untuk sekedar memancing, menginap diatas batu apung yang memang berada di Bibir pantai yang jernih serta diving maupun snokling.Di pulau Sangiang terdapat perkampungan yang saat ini ditinggali oleh 8 KK, ada belasan rumah panggung dengan atap rumbia. Bila musim tanam ratusan hingga ribuan warga berpencar digunung Sangiang untuk berladang, bertani dan berkebun serta mengembala. Tidak saja warga Wera, tetapi warga dari Donggo serta Manggarai NTT juga ikut mengais rejeki dipulau ini.
Pulau yang subur ini ditumbuhi oleh berbagai tanaman, mulai dari Tomat, Cabe, Labu, jagung hingga kebun Jati. Ada satu kebun yang sempat dilewati oleh Rombongan, kebun tersebut ditanami Buah. Diantaranya tanaman Semangka terdapat juga tanaman Strowbery dan pohon Durian. Entah apakah Duriannya berbuah atau tidak tetapi Nampak subur. Dibeberapa lokasi terlihat deretan jagung, juga ada padi yang mulai menguning yang ditanam secara terasering (Orang Bima menyebutnya: Fare Oma).
Dari perkampungan (bagian barat daya) Pulau Sangiang, sekitar 4 kilometer kearah barat laut, terdapat lokasi yang bernama OI PETO. Air ini sangat jernih dan bila diminum terasa manis. Konon berasal dari Pohon Peto (penulis kurang tahu bahasa Indonesia pohon yang dikisahkan itu) yang berumur ribuan tahun diatas punggung gunung dan tertutup oleh ilalang. Sumber OI PETO tidak akan mengeluarkan air sedikit pun (kering) bila musim hujan. Dan akan mengalir deras dan jernih pada musim kemarau. Inilah yang membuatnya Unik dan Menarik untuk di kunjungi. Oleh banyak wisatawan dan dari pengakuan Warga Pulau Sangiang, Air tersebut adalah AIR AWET MUDA dan AIR JODOH. Percaya atau tidak pengakuan banyak warga yang pernah berburu Menjangan atau Rusa di Gunung Sangiang dan pernah meminum atau membasuh muka di OI PETO ini diyakini mengurangi atau memperlama proses penuaan pada wajah. Serta sebagian yang pernah ditanyai menyatakan, bahwa siapapun yang pernah membasuh Muka di OI PETO akan sangat mudah memancarkan aura cantik/ganteng dihadapan lawan jenis. Akibatnya, tidak sedikit yang membawa pulang dengan menggunakan jirgen maupun botol mineral.
Dibagian Timur tenggara Gunung Sangiang, sekitar 25 kilo dari perkampungan, terdapat lokasi yang bernama TORO JARA atau OI NONO JARA. Disini, anda jangan heran bila anda menggali pasir sekitar 2-5 meter dari bibir laut, anda akan mendapati Air tawar yang langsung bisa diminum. Ketika air laut surut, ambil jarak 3 meter lalu galilah sekitar 2 – 3 depa (30 – 100 cm), akan keluar mata air tawar yang tidak akan anda rasakan asinnya. Konon disini tempat singgahnya Pasukan Kaveleri (Pasukan Berkuda) kesultanan maupun Kerajaan Bima yang menuju Jeneponto sebagai pusat Pasukan Kavaleri Kerajaan Gowa pada waktu itu. Sehingga dinamakanlah tempat ini sebagai Oi Nono Jara (Air Minum Kuda) atau Toro Jara. Bagi Pencinta alam yang melakukan pendakian ke Puncak Gunung Sangiang, Lokasi ini menjadi Lokasi Star atau Pos I atau pos Navigasi Perbekalan. Tempat pengecekan bekal.
Dibagian utara gunung Sangiang, terdapat SO SEMPASEDA. So Sempaseda adalah
So (Baca: Daerah) yang paling di hindari oleh penduduk maupun pemburu. Sebab
disini adalah daerah panas bumi, yang masih mengeluarkan uap dari perut gunung.
Di So Sempaseda, anda bisa melihat langsung alur sungai yang hingga kini masih
mengalir air yang penuh dengan uap. Suhu panas air ini berasal dari sumber mata
air yang berada dikawah Doro Api (puncak gunung bagian timur), meliwati
punggung gunung yang menguarkan hawa panas sehingga sungai tersebut mengalirkan
air panas dengan suhu 60 – 110 Derajat Celsius. Demikian pula ketika
muara sungai ini yang berada dibibir pantai, ketika bertemu dengan air laut
juga masih terasa hawa panasnya. Konon, di So Sempaseda inilah ‘kulit gunung’
yang tipis dari lubang magma yang naik ke puncak gunung.
Disore hari menjelang matahari terbenam, anda akan dimanjakan oleh fenomena
puluhan hingga ratusan ribu kelelawar keluar dari sarangnya. Fenomena tersebut
dapat anda saksikan di SORI BELANDA, sekitar 3 kilometer kearah timur tenggara
dari Pemukiman Warga pulau Sangiang. Fenomena ini benar-benar indah saat sore
menjelang. Kelelawar ini dikala pagi hingga sore menggantung dipepohonan
pinggir pantai maupun di goa-goa sekitar SORI BELANDA. Disebut Sori Belanda,
karena dilokasi ini pernah terdampar kapal Belanda yang sedang menuju
Manggarai. Akibat kondisi alam yang tidak sesuai dengan mereka serta kekurangan
makanan, akhirnya mereka tewas kelaparan disepanjang sungai jalur lava (sungai
Lava Pijar) dan dikubur massal olah warga sekitar di lokasi tersebut. Kemudian
dikenalah lokasi ini dengan sebutan Sori Belanda (Sungai Belanda).
Bibir pantai dan perairan diseputaran Gunung Sangiang merupakan Spot
Memancing Maniak. Banyak didapati kapal-kapal Pesiar wisatawan domestic maupun
mancanegara yang melabuhkan jangkar disekitar perairan ini untuk memancing dan Diving.
Antara lain yang menjadi Favorit adalah daerah OI PETO, GUSU WALA, maupun di OI
KALO. Di OI PETO hidup spesies Ikan Karapu, konon dipercaya sebagai Uma
Karapu (Rumah Ikan Karapu), sedangkan di GUSU WALA hidup spesies ikan
Kakap ekor merah dan Ikan Sunu. Demikian juga di OI KALO tempat berkumpulnya
spesies Baronang (Bima: Uta Sancara). Banyak pejabat kabupatan Bima
dan Pemprov NTB yang datang khusus di 3 lokasi ini hanya untuk mancing maniak.
PERBURUAN
Pulau Sangiang menjadi pusat perburuan Rusa atau
Menjangan di Pulau Sumbawa, setelah Savana Tambora. Tetapi harus di akui, bahwa
menjangan di Pulau Sangiang lebih banyak dari jumlah yang ada di lereng atau
savanna Gunung Tambora. Meski setiap tahun diburu oleh ratusan orang sejak
puluhan tahun yang lalu, Menjangan di Pulau Sangiang tidak pernah punah dan
berkurang. Meski demikian pihak pemerintah melalui PPA maupun KSDA sering
melakukan patroli dan penjagaan di Pulau Sangiang dari warga yang berburu
menjangan, karena dikhawatirkan akan punah. Namun warga Sangiang sendiri cukup
heran, hampir setiap tahun ratusan pemburu masuk pulau Sangiang untuk berburu
dan puluhan hingga ratusan menjangan didapat. Tetapi lagi-lagi, menjangan di
Sangiang tidak pernah berkurang.
Ayang Saifullah membeberkan, bahwa di Sangiang
Darat, ada keluarga pemburu menjangan. Sejak buyut, kakek, bapak hingga anaknya
saat ini lihai berburu dan keturunan pemburu memang. Menurutnya sudah 4
generasi keluarga yang berburu menjangan di pulau Sangiang. Ada musim dimana
ratusan orang pergi berburu di Pulau Sangiang, tradisi ini sudah ada sejak
puluhan tahun yang lalu.
Berbagai jenis satwa burung pun ada di Pulau Sangiang, beberapa orang warga
Sangiang darat yang ke Pulau Sangiang mengakui melihat beberapa ekor Burung
Cenderawasih dan warga Pulau Sangiang menyebutnya Burung Irian Jaya. Mereka tau
bahwa burung tersebut berasal dari Irian jaya karena pernah melihatnya
ditelevisi. Baru-baru ini sekitar 2 tahun lalu, segerombolan burung (sekitar
5-7 ekor) Cenderawasi dijumpai oleh warga Donggo dan Manggarai yang berburu
menjangan dibagian utara gunung Sangiang.
TRANSPORTASI
MENUJU WERA DAN PULAU SANGIANG
Untuk menuju Pulau Sangiang, sangatlah mudah.
Jika kita star dari Terminal Dara sebagai terminal Kota Bima, anda bisa naik
Bemo D atau Ojek menuju Terminal Jatibaru – Kota Bima dengan biaya Rp.
10.000/orang. Dari terminal Jatibaru ini ada bis yang standby menuju
Kecamatan Wera mulai pukul 09.00 wita s/d 10.00 wita. Ada yang berangkat pagi,
siang dan sore sebagai pemberangkatan akhir. Dari Kota Bima menuju Wera, anda
akan melewati kecamatan Ambalawi. Kecematan Ambalawi sebelumnya bernama Wera
Barat. Namun setelah pemekaran dari kecamatan Wera disepakatilah nama Ambalawi.
Ambalawi juga memiliki banyak sekali Spot Wisata Pantai dan Panorama
yang indah yang belum belum terekspos, seperti Terumbu Karang Oi Fanda,
Panorama Pantai Mawu, hingga Doro Cumpu. Jarak tempuh dengan kendaraan umum
dari Kota Bima menuju terminal Tawali Wera adalah 2 – 3 jam. Sesampai
diterminal Wera, anda bisa menggunakan jasa ojek menuju Sangiang Darat. Dari
Sangiang darat, banyak perahu dan Boat yang bisa mengantar anda menuju Pulau
Sangiang.
Untuk biaya antar jemput dari Sangiang Darat ke pulau Sangiang dan
sebaliknya (bila menginap) atau untuk Pulang Pergi bila tidak menginap anda
harus merogok kocek Rp 500.000. bila menggunakan perahu biasa, jarak tempuhnya
sekitar + 70 menit. Sedangkan
bila Boat yang anda tumpangi berselinder 4, maka anda hanya menghabiskan waktu
untuk menyebrang sakitar 45 – 60 menit. Tetapi bila anda ingin mengeliliangi
Pulau Sangiang dengan Boat tanpa singgah diberbagai Spot wisata yang
disebutkan diatas, anda bisa star dari Perkampungan Pulau Sangiang, memutar
dari arah barat ke utara, timur, selatan dan kembali ke Barat. Anda bisa
menghabiskan waktu sekitar 3 – 4 jam dengan boat 4 silinder. Tentu biayanya pun
bisa lebih dari 1 jutaan.
Setelah puas menikmati Pulau Sangiang dan kembali ke Sangiang Darat, anda
bisa memesan Sarung Nggoli khas Wera (Sarung Tenun Khas Wera) dan madu
hutan Wera yang dijamin keasliannya di Sangiang Darat. Anda juga bisa
menyaksikan pembuatan kapal kayu dengan kapasitas muat 500 – 1.500 Ton daya
angkut sambil menikmati sunset disore hari menjelang kembali ke Kota
Bima. Konon katanya orang Sangiang Darat, tidak syah ke Sangiang Darat kalau
tidak menikmati Ikan Bakar pinggir laut sangiang dengan Sambal Khasnya yang
bikin raga selalu ingin ke Sangiang.
Nah, untuk ikan bakar ini, anda bisa pesan terlebih dahulu sebelum berangkat
ke pulau sangiang pada warga pinggir pantai Sangiang darat. Dan akan dibakarkan
dipinggir pantai sangiang Darat pada saat anda kembali dari pulau Sangiang. Entah
apa maksud dan tujuannya. Namun warga Sangiang Darat percaya bahwa hal itu
dapat membantu anda sehat bugar tanpa rasa lapar sedikit pun ketika melakukan
perjalanan menuju Kota Bima.
Banyak hal lain yang belum di eksplor sebagai potensi warisan maupun potensi
yang terpendam di Pulau Sangiang. banyak hal yang belum diungkap. Banyak
potensi yang masih ditutupi dari warga luar pulau Sangiang. tetapi Warga
Sangiang, baik Sangiang Darat maupun Pulau Sangiang, sangat ramah dan wellcome
kepada siapa pun selama warga yang datang itu menghargai dan menghormati budaya
dan adat masyarakat Sangiang.
Suatu waktu Penulis akan kembali ke Pulau Sangiang, mencoba menemukan
potensi-potensi terpendam sebagai kekayaan Wisata, Budaya serta Warisan
leluluhur. Masih banyak kata-kata tua, petuah serta Ngaji Tua warga Sangiang
yang masih ingin Penulis eksplor.
Wallahualam bissawab.